Post by penasenja on Jun 18, 2005 21:29:26 GMT -5
Tujuh kali naik Haji, masih tidak boleh melihat Ka'bah
Kiriman : Dari Aceh
Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang
tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak
ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu
senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim
yang mampu secara materi, mereka
memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu
anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci.
Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang
satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf
dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah,
Tuhan Semesta Alam. "Labaik allahuma labaik,
aku datang memenuhi seruanMu ya Allah".
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, "Ummi
undzur ila Ka'bah (Bu,lihatlah Ka'bah)." Hasan
menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam
itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak
beraksi, ia terdiam.
Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang
ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak
bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya
tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti
mengapa ia tak bisa melihat apapun selain
kegelapan.
beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali
yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya.
Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya
dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil
Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji
Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah.
Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu
sedih. Siapapun yang datang ke Baitulah, mengharap
rahmatNYA.
Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan
segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan
juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah
dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan
dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap
Ka'bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan
kmebali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata
nasib baik belum berpihak kepadanya.
Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya
kembali dibutakan di dekat Ka'bah, sehingga tak dapat
menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan
umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka'bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa
ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.
Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat
Ka'bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak
di matanya hanyalah gelap dan gelap.
Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri
Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali
menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang
menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka'bah.
Padahal, setiap berada jauh dari Ka'bah,
penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya,
apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab
dari Allah SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya,
sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala
pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya
diputuskannya untuk mencari seorang
alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama
yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya
di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti,
Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang
saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama,
kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau
menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang.
Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta
ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi
tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi
permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu,
dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di
tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah
introspeksi,
mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau
peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga
ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk
bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang
telah dilakukannya.
"Anda harus berterus terang kepada saya, karena
masalah Anda bukan masalah sepele," kata ulama itu
pada Sarah. Sarah terdiam sejenak.
Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya.
Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak
mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah
percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah
menelpon. "Ustad, waktu masih muda, saya bekerja
sebagai perawat di rumah sakit," cerita Sarah
akhirnya.
"Oh, bagus.....Pekerjaan perawat adalah pekerjaan
mulia," potong ulama itu.
"Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan
berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu
halal atau haram," ungkapnya terus terang.
Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu
akan berkata demikian.
"Disana...." sambung Sarah, "Saya sering kali
menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan
bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada
yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi
yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang,
saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan
mereka."
Ulama tersebut amat terkejut mendengar
penjelasan Sarah.
"Astagfirullah......" betapa tega wanita itu
menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah
untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa
banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak
jelas nasabnya.
Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga
nasab atau keturunan sangat penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi
tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan
dalam perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau
muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
"Cuma itu yang saya lakukan," ucap Sarah. "Cuma
itu ?" tanya ulama terperangah. "Tahukah anda
bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa
banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !". ucap
ulama dengan nada tinggi.
"Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?" tanya ulama
itu lagi sedikit kesal.
"Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas
memandikan orang mati."
"Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia," kata ulama.
"Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja
sama dengan tukang sihir." "Maksudnya ?".
tanya ulama tidak mengerti. "Setiap saya bermaksud
menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau
sakit, segala perkakas sihir itu sesuai
dengan syaratnya, harus dipendam di dalam
tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di
dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda
itu ke dalam mulut orang yang mati."
"Suatu kali, pernah seorang alim meninggal
dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai
barang-barang tenung seperti jarum, benang
dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa
benda-benda itu seperti terpental, tidak mau
masuk, walaupun saya sudah menekannya
dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali
keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya
berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya
masukkan benda itu
dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya
lakukan." Mendengar penuturan Sarah yang datar dan
tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah. "Cuma
itu yang kamu lakukan ?". "Masya Allah....!!! Saya
tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan".
Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui
perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam
hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah
wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu
keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada
wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu. Akhirnya
ulama itu berkata, "Anda harus memohon ampun kepada
Allah, karena hanya
Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda."
Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar
tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar
selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari
tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia
berharap Sarah telah bertobat atas segala yang telah
diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni
dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya.
Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu
menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan
yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama
menanyakan kabar Sarah,
ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.
"Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon
ustad," ujar Hasan.
Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
"Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?". tanya ulama
itu. Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon
sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit
dan meninggal dunia.
Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah.
Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan
jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat
kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali
mencari lokasi lain untuk digali.
Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah
digali kembali menyempit dan tertutup rapat.
Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga
tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari
bahwa tanah itu kembali rapat.
Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para
pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa
ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi.
Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan
dengan perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa
dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai.
Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai
hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang
berhasil digali.
Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang.
Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan
tanah kering kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada
ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang
tuanya ditempat itu tanpa dikubur.
Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan
termenung di tanah perkuburan
seorang diri. Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri
seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang,
seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki
itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup
kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu
mendekati Hasan kemudian berkata padanya," Biar aku
tangani jenazah ibumu, pulanglah!". kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia
berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya.
Syukur-syukur mau menggali lubang untuk
kemudian mengebumikan ibunya. "Aku minta supaya
kau jangan menengok ke belakang, sampai tiba di
rumahmu, "pesan lelaki itu. Hasan mengangguk,
kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di
luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk
mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat
wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit
api, kemudian api itu menyelimuti
seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya,
sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api
menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan
langkah seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat
itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu.
Hasan juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang
tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena
terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama
semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia
menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan
khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau
dosa-dosa yang
pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama
itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah
diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang
soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka
bekas luka di pipinya dengan ijin Allah
akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian
Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya
yang dulu amat terasa sakit dan panas luar
biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa
tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup,
Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap,
apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh
ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.
Semoga kisah nyata dari Mesir ini bisa menjadi
pelajaran bagi kita semua. Uang Rp 50.000 atau S$50
kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak
derma masjid, tetapi begitu kecil bila kita bawa ke
supermarket. 45 minit terasa terlalu lama untuk
berzikir tapi betapa pendeknya waktu itu
untuk pertandingan bola sepak. Semua insan ingin
memasuki syurga tetapi tidak ramai yang berfikir dan
berbicara tentang bagaimana untuk memasukinya.
Kita mengirimkan ribuan 'jokes' dan 'suratberantai'
melalui e-mail tetapi bila ! mengirimkan yang
berkaitan dengan ibadah seringkali berfikir 2
atau 3 kali.
OLEH ITU JANGAN BIARKAN DIRI KITA INI MENJADI
SEBAHAGIAN DARI KELUCUAN TERSEBUT, INSYA'ALLAH.
Kiriman : Dari Aceh
Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang
tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak
ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu
senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim
yang mampu secara materi, mereka
memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu
anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci.
Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang
satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf
dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah,
Tuhan Semesta Alam. "Labaik allahuma labaik,
aku datang memenuhi seruanMu ya Allah".
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, "Ummi
undzur ila Ka'bah (Bu,lihatlah Ka'bah)." Hasan
menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam
itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak
beraksi, ia terdiam.
Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang
ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak
bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya
tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti
mengapa ia tak bisa melihat apapun selain
kegelapan.
beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali
yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya.
Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya
dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil
Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji
Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah.
Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu
sedih. Siapapun yang datang ke Baitulah, mengharap
rahmatNYA.
Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan
segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan
juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah
dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan
dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap
Ka'bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan
kmebali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata
nasib baik belum berpihak kepadanya.
Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya
kembali dibutakan di dekat Ka'bah, sehingga tak dapat
menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan
umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka'bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa
ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.
Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat
Ka'bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak
di matanya hanyalah gelap dan gelap.
Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri
Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali
menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang
menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka'bah.
Padahal, setiap berada jauh dari Ka'bah,
penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya,
apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab
dari Allah SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya,
sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala
pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya
diputuskannya untuk mencari seorang
alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama
yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya
di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti,
Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang
saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama,
kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau
menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang.
Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta
ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi
tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi
permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu,
dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di
tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah
introspeksi,
mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau
peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga
ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk
bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang
telah dilakukannya.
"Anda harus berterus terang kepada saya, karena
masalah Anda bukan masalah sepele," kata ulama itu
pada Sarah. Sarah terdiam sejenak.
Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya.
Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak
mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah
percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah
menelpon. "Ustad, waktu masih muda, saya bekerja
sebagai perawat di rumah sakit," cerita Sarah
akhirnya.
"Oh, bagus.....Pekerjaan perawat adalah pekerjaan
mulia," potong ulama itu.
"Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan
berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu
halal atau haram," ungkapnya terus terang.
Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu
akan berkata demikian.
"Disana...." sambung Sarah, "Saya sering kali
menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan
bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada
yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi
yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang,
saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan
mereka."
Ulama tersebut amat terkejut mendengar
penjelasan Sarah.
"Astagfirullah......" betapa tega wanita itu
menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah
untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa
banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak
jelas nasabnya.
Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga
nasab atau keturunan sangat penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi
tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan
dalam perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau
muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
"Cuma itu yang saya lakukan," ucap Sarah. "Cuma
itu ?" tanya ulama terperangah. "Tahukah anda
bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa
banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !". ucap
ulama dengan nada tinggi.
"Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?" tanya ulama
itu lagi sedikit kesal.
"Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas
memandikan orang mati."
"Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia," kata ulama.
"Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja
sama dengan tukang sihir." "Maksudnya ?".
tanya ulama tidak mengerti. "Setiap saya bermaksud
menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau
sakit, segala perkakas sihir itu sesuai
dengan syaratnya, harus dipendam di dalam
tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di
dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda
itu ke dalam mulut orang yang mati."
"Suatu kali, pernah seorang alim meninggal
dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai
barang-barang tenung seperti jarum, benang
dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa
benda-benda itu seperti terpental, tidak mau
masuk, walaupun saya sudah menekannya
dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali
keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya
berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya
masukkan benda itu
dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya
lakukan." Mendengar penuturan Sarah yang datar dan
tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah. "Cuma
itu yang kamu lakukan ?". "Masya Allah....!!! Saya
tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan".
Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui
perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam
hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah
wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu
keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada
wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu. Akhirnya
ulama itu berkata, "Anda harus memohon ampun kepada
Allah, karena hanya
Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda."
Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar
tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar
selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari
tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia
berharap Sarah telah bertobat atas segala yang telah
diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni
dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya.
Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu
menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan
yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama
menanyakan kabar Sarah,
ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.
"Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon
ustad," ujar Hasan.
Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
"Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?". tanya ulama
itu. Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon
sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit
dan meninggal dunia.
Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah.
Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan
jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat
kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali
mencari lokasi lain untuk digali.
Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah
digali kembali menyempit dan tertutup rapat.
Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga
tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari
bahwa tanah itu kembali rapat.
Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para
pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa
ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi.
Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan
dengan perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa
dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai.
Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai
hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang
berhasil digali.
Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang.
Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan
tanah kering kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada
ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang
tuanya ditempat itu tanpa dikubur.
Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan
termenung di tanah perkuburan
seorang diri. Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri
seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang,
seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki
itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup
kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu
mendekati Hasan kemudian berkata padanya," Biar aku
tangani jenazah ibumu, pulanglah!". kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia
berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya.
Syukur-syukur mau menggali lubang untuk
kemudian mengebumikan ibunya. "Aku minta supaya
kau jangan menengok ke belakang, sampai tiba di
rumahmu, "pesan lelaki itu. Hasan mengangguk,
kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di
luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk
mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat
wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit
api, kemudian api itu menyelimuti
seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya,
sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api
menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan
langkah seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat
itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu.
Hasan juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang
tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena
terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama
semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia
menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan
khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau
dosa-dosa yang
pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama
itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah
diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang
soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka
bekas luka di pipinya dengan ijin Allah
akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian
Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya
yang dulu amat terasa sakit dan panas luar
biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa
tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup,
Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap,
apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh
ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.
Semoga kisah nyata dari Mesir ini bisa menjadi
pelajaran bagi kita semua. Uang Rp 50.000 atau S$50
kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak
derma masjid, tetapi begitu kecil bila kita bawa ke
supermarket. 45 minit terasa terlalu lama untuk
berzikir tapi betapa pendeknya waktu itu
untuk pertandingan bola sepak. Semua insan ingin
memasuki syurga tetapi tidak ramai yang berfikir dan
berbicara tentang bagaimana untuk memasukinya.
Kita mengirimkan ribuan 'jokes' dan 'suratberantai'
melalui e-mail tetapi bila ! mengirimkan yang
berkaitan dengan ibadah seringkali berfikir 2
atau 3 kali.
OLEH ITU JANGAN BIARKAN DIRI KITA INI MENJADI
SEBAHAGIAN DARI KELUCUAN TERSEBUT, INSYA'ALLAH.