Post by sanggabuana on Feb 24, 2007 9:17:21 GMT -5
Asalkan Ada Abang…
Publikasi: 27/02/2004 11:16 WIB
eramuslim
Hmmm… kupandangi Al Quran bersampul kuning keemasan itu. Warnanya tak pudar walaupun telah sepuluh tahun ia tinggal di rak buku ruang tamuku. Lembarannya tak cacat sedikitpun walau sering kubaca. Dan satu kali dalam satu tahun aku memandangi takjub maharku itu seperti ini…
Suamiku baru saja pulang kerja. Dia tampak lelah. Kusiapkan air hangat untuknya sore ini. Makanan dan minuman kesukaannya telah kuhidangkan di meja makan lebih awal. Sprei tempat tidur telah kuganti. Kordin telah kucuci dan kupasang lagi. Seluruh bagian rumah telah kubersihkan.
”Kok senyum aja sih dari tadi?” suamiku menegurku. Aku hanya bisa tertawa kecil. ”Nggak pa pa. Pingin sedekah aja. He he…”
Suamiku membalas seyumanku dan pergi mandi.
Saat ditutup, kuamati pintu kamar mandi itu… dan sekeliling rumah ini. Rumah kontrakan penuh kenangan. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milik kami karena pemilik sebenarnya akan pindah ke luar kota dan menjualnya pada kami. Suamiku pun bekerja lembur akhir-akhir ini untuk melunasinya.
Malam ini aku dan suamiku menikmati makan malam sebelum isya. Kebetulan anak-anak sedang liburan di rumah neneknya. Rumah jadi terasa sepi.
Terdengar suara motor berderu melewati rumah kami sekali waktu. Terdengar pula suara televisi tetangga sebelah rumah dan sesekali tawa mereka.
Dari seberang meja makan kupandangi suamiku itu. Baju koko telah dipakainya. Dia telah siap untuk berangkat ke masjid. Wajahnya tak berubah, masih seperti itu… kalem. Hanya jenggotnya saja yang kian lebat. Hmmm… dia masih dengan pendiriannya. Subhanallah…
Pulang suamiku dari masjid, aku baru saja selesai mencuci piring.
”Abang baru inget. Sepuluh tahun lalu abang nikahin kamu ya, dek? Pantes dari tadi seyum aja. Ngerayain yang kayak gitu2 nggak level kan, dek?! Nah, mendingan pijetin abang nih, abang capek banget hari ini.”
Ha ha ha… masih. Dari dulu emang manja bapak ini.
Tapi tidak saat dia datang ke rumahku sepuluh tahun lalu. Aku hanya bisa mendengar percakapan hangat itu dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Yaaah, aku rasa adalah hal yang wajar bila setiap orang tua ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan yaaah, memang untuk hidup di jaman sekarang, pekerjaan suamiku yang tidak tetap mungkin tidak bisa mencukupi hidup kami nanti. Maklumlah, baru lulus kuliah. Tapi suamiku percaya, insya Allah, Allah akan memudahkannya.
Sempat kututup telingaku saat suara ayahku mendominasi percakapan hari itu.
Aku hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku sia-sia. Dan untuk tidak menjadi isteri seorang yang shalih seperti dia adalah suatu kerugian bagiku. Namun tak lama ibuku datang ke kamarku dengan terseyum dan menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku terlalu lama hingga aku tak menyadari bahwa saat itu suamiku tengah memberi pengertian pada ayahku dan akhirnya meyakinkan beliau.
Seminggu pertama aku dan suamiku tinggal di rumah orang tuaku. Karena rumah yang dikontrak suamiku baru bisa dipergunakan setelah seminggu itu, ya rumah ini. Selama seminggu itu dia sibuk sekali. Entah apa saja yang d**erjakannya. Dan setelah minggu itu berlalu, ada rasa khawatir di wajahnya saat ia mengatakan padaku, ”Dek, di rumah itu… nggak ada apa-apanya.”
Ia menatapku sendu.
Sebenarnya aku dan suamiku berasal dari keluarga yang cukup berada. Hanya saja mungkin itu masalah harga diri bagi kaum lelaki, aku juga tidak begitu mengerti.
Di tengah kekhawatirannya itu ku katakan padanya, ”Abang… asalkan ada ember biar adek bisa nyuciin baju abang, asal ada paku dan tali biar adek bisa ngejemur, asal ada api biar adek bisa masak buat abang, asal ada alas buat kita tidur, asal ada kain buat nutup jendela, asal ada sapu biar rumah kita tetap bersih, asal cukup air, asal bisa beli bayam dan tempe, dan selang sehari kita shaum… insya Allah, itu bukan masalah bagi adek.”
Ia tersenyum, masih dengan tatapan yang sendu itu. Hhh… aku jadi sedih. Sejak ta’aruf dulu, dia telah mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti. Dan aku telah menyatakan kesiapanku… insya Allah, aku sanggup menghadapi apapun… bersamanya…
Esok harinya kamipun pindah. Selama seminggu itu aku memang tak diizinkannya untuk melihat kontrakan itu. Dan saat aku sampai di sana… Subhanallah, ruang tamu mungil dengan perabotan terbuat dari rotan yang cukup untuk diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa kulihat di rumahku menjadi penghalang ruang tamu dengan ruang makan. Rak buku itu memang dibuatkan khusus oleh ayahku untukku. Beliau tahu hobiku membaca buku. Wah, pantas saja aku tak melihat rak itu di rumah akhir-akhir ini.
Aku melihat-lihat seluruh rumah itu. Ruang makan yang sederhana hanya tersedia dua bangku di situ dengan meja kecil yang cukup untuk makan kita berdua saja. Di kamar tidur ternyata telah ada sebuah tempat tidur, lemari baju dan meja hias. Di sebelah kamar itu ada ruang kosong, untuk kamar anak-anak kelak. Di dapur telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan ibu mertuaku. Di bagian belakang rumah itu ada kamar mandi. Di luarnya telah ada sapu ijuk dan sapu lidi plus tempat sampah. Di tempat mencuci telah ada ember dan gayung.
Semua jendela telah berkordin.
Belum sempat aku mengomentari rumah itu, suamiku berkata, ”Dek, abang lupa beli tali sama paku buat jemuran.”
Hi hi hi. Aku tertawa cekikikan. ”Adek kira rumahnya bener-bener kosong nggak ada apa-apanya.”
”Yaaah… maksud abang gak ada apa-apanya dibandingin rumah adek.”
Hi hi hi… abang.
Dulu yang kupinta pada Allah adalah hanya seorang suami seperti abang, yang sholih, yang mau usaha, yang optimis, tawakal. Jadi di manapun kita tinggal, seperti apapun keadaanya, sekurang apapun fasilitasnya, asalkan
ada abang… hidupku udah lengkap.
Publikasi: 27/02/2004 11:16 WIB
eramuslim
Hmmm… kupandangi Al Quran bersampul kuning keemasan itu. Warnanya tak pudar walaupun telah sepuluh tahun ia tinggal di rak buku ruang tamuku. Lembarannya tak cacat sedikitpun walau sering kubaca. Dan satu kali dalam satu tahun aku memandangi takjub maharku itu seperti ini…
Suamiku baru saja pulang kerja. Dia tampak lelah. Kusiapkan air hangat untuknya sore ini. Makanan dan minuman kesukaannya telah kuhidangkan di meja makan lebih awal. Sprei tempat tidur telah kuganti. Kordin telah kucuci dan kupasang lagi. Seluruh bagian rumah telah kubersihkan.
”Kok senyum aja sih dari tadi?” suamiku menegurku. Aku hanya bisa tertawa kecil. ”Nggak pa pa. Pingin sedekah aja. He he…”
Suamiku membalas seyumanku dan pergi mandi.
Saat ditutup, kuamati pintu kamar mandi itu… dan sekeliling rumah ini. Rumah kontrakan penuh kenangan. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milik kami karena pemilik sebenarnya akan pindah ke luar kota dan menjualnya pada kami. Suamiku pun bekerja lembur akhir-akhir ini untuk melunasinya.
Malam ini aku dan suamiku menikmati makan malam sebelum isya. Kebetulan anak-anak sedang liburan di rumah neneknya. Rumah jadi terasa sepi.
Terdengar suara motor berderu melewati rumah kami sekali waktu. Terdengar pula suara televisi tetangga sebelah rumah dan sesekali tawa mereka.
Dari seberang meja makan kupandangi suamiku itu. Baju koko telah dipakainya. Dia telah siap untuk berangkat ke masjid. Wajahnya tak berubah, masih seperti itu… kalem. Hanya jenggotnya saja yang kian lebat. Hmmm… dia masih dengan pendiriannya. Subhanallah…
Pulang suamiku dari masjid, aku baru saja selesai mencuci piring.
”Abang baru inget. Sepuluh tahun lalu abang nikahin kamu ya, dek? Pantes dari tadi seyum aja. Ngerayain yang kayak gitu2 nggak level kan, dek?! Nah, mendingan pijetin abang nih, abang capek banget hari ini.”
Ha ha ha… masih. Dari dulu emang manja bapak ini.
Tapi tidak saat dia datang ke rumahku sepuluh tahun lalu. Aku hanya bisa mendengar percakapan hangat itu dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Yaaah, aku rasa adalah hal yang wajar bila setiap orang tua ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan yaaah, memang untuk hidup di jaman sekarang, pekerjaan suamiku yang tidak tetap mungkin tidak bisa mencukupi hidup kami nanti. Maklumlah, baru lulus kuliah. Tapi suamiku percaya, insya Allah, Allah akan memudahkannya.
Sempat kututup telingaku saat suara ayahku mendominasi percakapan hari itu.
Aku hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku sia-sia. Dan untuk tidak menjadi isteri seorang yang shalih seperti dia adalah suatu kerugian bagiku. Namun tak lama ibuku datang ke kamarku dengan terseyum dan menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku terlalu lama hingga aku tak menyadari bahwa saat itu suamiku tengah memberi pengertian pada ayahku dan akhirnya meyakinkan beliau.
Seminggu pertama aku dan suamiku tinggal di rumah orang tuaku. Karena rumah yang dikontrak suamiku baru bisa dipergunakan setelah seminggu itu, ya rumah ini. Selama seminggu itu dia sibuk sekali. Entah apa saja yang d**erjakannya. Dan setelah minggu itu berlalu, ada rasa khawatir di wajahnya saat ia mengatakan padaku, ”Dek, di rumah itu… nggak ada apa-apanya.”
Ia menatapku sendu.
Sebenarnya aku dan suamiku berasal dari keluarga yang cukup berada. Hanya saja mungkin itu masalah harga diri bagi kaum lelaki, aku juga tidak begitu mengerti.
Di tengah kekhawatirannya itu ku katakan padanya, ”Abang… asalkan ada ember biar adek bisa nyuciin baju abang, asal ada paku dan tali biar adek bisa ngejemur, asal ada api biar adek bisa masak buat abang, asal ada alas buat kita tidur, asal ada kain buat nutup jendela, asal ada sapu biar rumah kita tetap bersih, asal cukup air, asal bisa beli bayam dan tempe, dan selang sehari kita shaum… insya Allah, itu bukan masalah bagi adek.”
Ia tersenyum, masih dengan tatapan yang sendu itu. Hhh… aku jadi sedih. Sejak ta’aruf dulu, dia telah mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti. Dan aku telah menyatakan kesiapanku… insya Allah, aku sanggup menghadapi apapun… bersamanya…
Esok harinya kamipun pindah. Selama seminggu itu aku memang tak diizinkannya untuk melihat kontrakan itu. Dan saat aku sampai di sana… Subhanallah, ruang tamu mungil dengan perabotan terbuat dari rotan yang cukup untuk diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa kulihat di rumahku menjadi penghalang ruang tamu dengan ruang makan. Rak buku itu memang dibuatkan khusus oleh ayahku untukku. Beliau tahu hobiku membaca buku. Wah, pantas saja aku tak melihat rak itu di rumah akhir-akhir ini.
Aku melihat-lihat seluruh rumah itu. Ruang makan yang sederhana hanya tersedia dua bangku di situ dengan meja kecil yang cukup untuk makan kita berdua saja. Di kamar tidur ternyata telah ada sebuah tempat tidur, lemari baju dan meja hias. Di sebelah kamar itu ada ruang kosong, untuk kamar anak-anak kelak. Di dapur telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan ibu mertuaku. Di bagian belakang rumah itu ada kamar mandi. Di luarnya telah ada sapu ijuk dan sapu lidi plus tempat sampah. Di tempat mencuci telah ada ember dan gayung.
Semua jendela telah berkordin.
Belum sempat aku mengomentari rumah itu, suamiku berkata, ”Dek, abang lupa beli tali sama paku buat jemuran.”
Hi hi hi. Aku tertawa cekikikan. ”Adek kira rumahnya bener-bener kosong nggak ada apa-apanya.”
”Yaaah… maksud abang gak ada apa-apanya dibandingin rumah adek.”
Hi hi hi… abang.
Dulu yang kupinta pada Allah adalah hanya seorang suami seperti abang, yang sholih, yang mau usaha, yang optimis, tawakal. Jadi di manapun kita tinggal, seperti apapun keadaanya, sekurang apapun fasilitasnya, asalkan
ada abang… hidupku udah lengkap.